jual.buku.islam
TS
jual.buku.islam
Syarah AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jamaah (Manhaj Salaf)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنًسْتَعِيْنُهُ وَنًسْتَغْفِرُهْ وَنًعُوذً ِبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ ِبِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ


Segala puji bagi Allah yang hanya kepadaNya kami memuji, memohon pertolongan, dan ampunan. Kami berlindung kepadaNya dari kekejian diri dan kejahatan amalan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkan, dan barang siapa yang tersesat dari jalanNya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi hanya Allah saja yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan dan RasulNya



Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
(Ali Imran{3} :102)



Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(An Nisaa'{4} :01)




Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.(Al Ahzab{33} :70-71)

'Aqidah yang benar adalah perkara yang amat penting dan kewajiban yang paling besar yang harus diketahui oleh setiap Muslim dan Muslimah. Karena sesungguhnya sempurna dan tidaknya suatu amal, diterima atau tidaknya, bergantung kepada 'aqidah yang benar. Kebahagiaan dunia dan akhirat hanya diperoleh oleh orang-orang yang berpegang pada 'aqidah yang benar ini dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menafikan dan mengurangi kesempurnaan 'aqidah tersebut.

'Aqidah yang benar adalah 'aqidah al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), 'aqidah ath-Thaaifatul Manshuurah (golongan yang dimenangkan Allah), 'aqidah Salaf, 'aqidah Ahlul Hadist, Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Hanya kepada Allah kami memohon semoga risalah ini bermanfaat dan menjadikan upaya ini sebagai amal shalih semata-mata mengharap ridha-Nya.


Sesuai Judul Thread ini dibuat untuk menjelaskan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah sesuai dengan Manhajnya para Shalafus Shaleh.

Thread ini juga sudah mendapat izin dari moderator Approved

muzzsdr.alex632
sdr.alex632 dan muzz memberi reputasi
2
149.9K
2.1K
Thread Digembok
Tampilkan semua post
jual.buku.islam
TS
jual.buku.islam
#1110
Istiwa dan Duduk
Ibnu taimiyah adalah orang yang cenderung menetapkan riwayat tentang didudukkannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam diatas Arsy meskipun tidak menetapkan persetujuan dan penolakan maupun menakwilnya

Beliau berkata:

وقد صنف القاضي أبو يعلى كتابه في إبطال التأويل ردا لكتاب ابن فورك وهو وإن كان أسند الأحاديث التي ذكرها وذكر من رواها ففيها عدة أحاديث موضوعة كحديث الرؤية عيانا ليلة المعراج ونحوه وفيها اشياء عن بعض السلف رواها بعض الناس مرفوعة كحديث قعود الرسول صلى الله عليه وسلم على العرش رواه بعض الناس من طرق كثيرة مرفوعة وهي كلها موضوعة وإنما الثابت أنه عن مجاهد وغيره من السلف وكان السلف والأئمة يروونه ولا ينكرونه ويتلقونه بالقبول

وقد يقال إن مثل هذا لا يقال إلا توقيفا لكن لا بد من الفرق بين ما ثبت من ألفاظ الرسول وما ثبت من كلام غيره سواء كان من المقبول أو المردود


Sungguh Qadhi Abu Ya’la telah mengarang sebuah kitab yang bernama Ibthal al Ta’wil sebagai bantahan terhadap Ibnu Fawraq, sekalipun dalam kitab tersebut ia memberikan sanad hadits-hadits yang dan menyebutkan rawinya, namun didalam kitab tersebut banyak sekali hadits-hadits maudhu. Misalnya hadits melihat Allah dengan mata telanjang di malam Mi’raj dan semisalnya. ada beberapa perkara dari sebagian Salaf yang diriwayatkan oleh sebagian orang secara marfu seperti hadits duduknya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diatas Arsy, hadits tersebut diriwayatkan oleh sebagian orang dari banyak jalan yang marfu namun semuanya Maudhu. Hadits yang Valid hanya dari Mujahid dan selain beliau dari kalangan Salaf dan mereka serta para imam meriwayatkannya, tidak mengingkarinya dan sepakat menerimanya[4].

Kadang-kadang dikatakan bahwa hal semacam ini bersifat tauqifi, namun perlu dibedakan antara apa yang valid dengan lafadz-lafadz dari Rasulullah dengan yang valid dari perkataan orang lain dalam masalah penerimaan dan penolakan. [5]

Namun demikian beliau memberikan rambu-rambu dalam hal ini dengan mengatakan:

فما جاءت به الأثار عن النبي من لفظ القعود و الجلوس في حق الله تعالى كحديث جفعر ابن ابي طالب و حديث عمر أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد

Semua atsar yang datang tentang nabi dengan lafadz quud dan julus yang terkait dengan Allah Taala seperti hadits Ja’far bin abi Thalib dan hadits Umar lebih utama untuk dikatakan tidak menyerupai Sifat Jism Hamba

Dari riwayat-riwayat yang telah saya sebutkan baik dari yang menyetujui maupun tidak, adalah jelas bahwa Ibnu Taimiyah tidak mengada-ngada apalagi terjerumus kedalam bid’ah Tajsim. Beliau hanya mengikuti pendahulunya dari kalangan Salaf Seperti At thabari, al Marwadzi, Imah Ahmad, Abdullah Bin Ahmad, Abu Daud al Sijistani pemilik sunan Abu Daud, al Khallal, Ibrahim bin Harbi, Muhammad bin Mush’ab dan bahkan dikatakan hal itu juga menjadi pendapat Imam Syafii seperti yang dituturkan oleh Al Dzahabi dalam Biografi Muhammad bin Mush’ab dan banyak lagi. Al Ajurri Juga membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab beliau ‘al syariah’.

Jika kita mau jujur, kenapa kita tidak bersikap seperti At thabari yang mentolerir pemahaman sebagian orang tentang makna مقاما محمودا yang berarti Allah mendudukkan Muhammad diatas Arsy-Nya. atau kalau mau bersikeras mengkafirkan Ibnu Taimiyah, lakukanlah itu juga pada ulama-ulama yang membela Mujahid. Naudzubillah Min dzalik.

Perlu Saya tekankan bahwa disini saya tidak mentarjih pendapat manapun terkait tafsir ayat tersebut. Tulisan ini hanya untuk membela ibnu Taimiyah dari tuduhan orang yang menuduh Ibnu Taimiyah Mujassimah karena mengabarkan riwayat-riwayat yang telah saya sebutkan.

Antara Istiwa dan duduk


Masalah lain muncul terkait riwayat-riwayat didudukkannya nabi diatas arsy, yaitu apakah istiwa juga bermakna duduk? Ibnu Utsaimin pernah mendapat pertanyaan tentang hal ini:

سئل العلامة ابن عثيمين رحمه الله في لقاء الباب المفتوح

فضيلة الشيخ : عثمان الدارمي في رده على بشر المريسي أورد أن الاستواء يأتي بمعنى الجلوس ، مارأي فضيلتكم ؟

الجواب : الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس قال تعالى (لتستووا على ظهوره ) الزخرف: 13

والانسان على ظهر الدابة جالس أم واقف ؟

هو جالس ، لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟ هذا محل نظر

فإن ثبت عن السلف أنهم فسروا ذلك بالجلوس فهم أعلم منا بهذا والا ففيه نظر

والا نقول : الكيف ـ أعني ـ الاستواء مجهول ، ومن جملة الجهل ألاّ ندري أهو جالس أم غير جالس ، ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه

Dalam sebuah acara pertemuan terbuka, al Allamah Ibnu Utsaimin pernah ditanya:

Fadhilatus Syaikh: Utsman al Darimi ketika membatah Bisyr al Muraisy mengatakan bahwa salah satu makna istiwa adalah duduk, bagaimana pendapatmu?

Jawab:

Istiwa diatas sesuatu dalam bahasa arab bermakna menetap dan duduk. Allah berfirman

لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ


“Supaya kamu duduk di atas punggungnya” (QS. Az-Zukhruf: 13)

Manusia diatas punggung hewan tunggangan duduk atau berdiri?

Dia duduk. Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah diatas Arsy? Inilah objek penelitiannya. Namun demikian kita katakan bahwa kaif (bagaimana) istiwanya Allah itu adalah majhul, termasuk dalam konsep majhul tersebut adalah kita tidak tahu apakah dia duduk atau bukan duduk. Tapi kita katakan makna istiwa adalah “tinggi”. Inilah yang tidak diragukan.[6]

Mungkin wacana atau tersebarnya istiwa dengan makna Julus atau quud terkait dengan riwayat dari Kharijah bin Mush’ab yang mengatakan:

روى الإمام عبد الله عن أحمد بن سعيد الدارمي عن أبيه قال: سمعت خارجة يقول ))الجهمية كفار، بلغوا نساءهم أنهن طوالق وأنهن لا يحللن لأزواجهن، لا تعودوا مرضاهم، ولا تشهدوا جنائزهم. ثم تلا {طه ، ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى} إلى قوله عز وجل: {الرحمن على العرش استوى} وهل يكون الاستواء إلا بجلوس


Imam Abdullah meriwayatkan dari Ahmad bin Said Al Darimi dari bapaknya dia berkata: aku mendengar Khorijah berkata (jahmiyah itu kafir, Sampaikan oleh kalian bahwa isteri-iseri mereka telah terthalaq dan mereka tidak halal bagi suami mereka, jangan dijenguk ketika sakit,dan janganlah jenazah mereka disaksikan (dianggap baik) kemudian beliau membaca

{طه ، ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى} إلى قوله عز وجل: {الرحمن على العرش استوى}


bukankah istiwa itu dengan duduk!

Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyah begitu juga muridnya Ibnul Qayyim al Jauziyah hanya menyebutkan kata duduk terkait tafsir dari Mujahid tentang surat al isra ayat 79, bukan memaknakan Istiwa dengan duduk. Yang paling mungkin duduk adalah sifat fi’liyah Allah tersendiri bukan sekedar makna dari Istiwa. Jalan yang saya tempuh adalah seperti syaikh Utsaimin yang cenderung tawaquf dalam masalah istiwa bermakna duduk. Yang jelas penetapan makna-makna istiwa adalah tatabbu’ dan istiqra, bukan hal yang Qathi’. Jika hal itu benar, maka al Imam utsman al Darimi lebih alim dari kita. Lagipula tujuan utama tulisan ini dibuat adalah untuk memberikan informasi tentang kelirunya orang-orang itu mencela ibnu taimiyah untuk hal yang secara jelas dan meyakinkan terdapat dalam riwayat-riwayat para ulama-ulama terdahulu.

Semoga bermanfaat.

Saudaramu: dobdob

[1] Lihat peristiwa-peristwa yang terjadi pada tahun tersebut dalam Bidayah Wan nihayah

[2] Silahkan membaca As sunnah karya beliau bab Dzikru al Maqam al Mahmud mulai riwayat no. 236

[3] al Uluw lil aliyyil Ghaffar hal.170 riwayat no 461 Maktabah Adhwa al Salaf

[4] Kata-kata ini mirip dengan yang diucapkan Imam Ahmad terkait riwayat semacam ini

[5] Dar’ut taarudh aql Wa al naql 3/19

[6] Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450
0