- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
agamz1217 dan 141 lainnya memberi reputasi
142
175.9K
Kutip
2.8K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1559
Part 62 - Dinar
Spoiler for Part 62 - Dinar:
Hidup dalam satu atap, sama-sama terinfeksi covid, gua tinggal di lantai bawah, sementara Dinar menjalani hari-harinya di lantai atas studio. Untuk urusan makan dan kebutuhan sehari-hari gua biasanya memesan melalui aplikasi ojek online, dimana si kurir nantinya akan mengantar dan menggantung barang pesanan gua di ujung pagar. Sedangkan untuk urusan obat-obatan, suplemen dan vitamin, bokap yang secara reguler mampir ke studio untuk sekalian memeriksa kondisi kami berdua.
Dinar sudah kembali bugar walau kadang masih terdengar suara batuk-batuknya dari posisi gua di lantai bawah. Gua sendiri nggak ada gejala yang berarti hingga sampai mengganggu aktivitas, ya paling kehilangan indera perasa yang bikin gregetan. Makan jadi nggak enak, nggak ada rasanya apapun jenis makanannya. Merokok pun sama, nggak ada rasa apa-apa.
Sementara untuk urusan pekerjaan, kami masih bisa menghandle semuanya dengan bekerja secara remote dari tempat masing-masing. Gua dari studio, Ketu apartemennya, Adam dan Andika dari apartemen gua yang mereka tinggali.
“Kak, kira-kira kapan aku bisa ‘nengokin’ Bapak, ibu sama Poppy?” Tanya Dinar.
Saat itu, gua tengah bekerja, membuat ilustrasi. Sementara Dinar duduk di anak tangga, posisinya ada di tengah antara lantai satu dan lantai dua. Tempat yang acap kali ia gunakan untuk duduk dan merenung.
Gua meletakkan pensil digital, melepas headset yang menyumpal kedua telinga lalu berpaling ke arahnya; “Kenapa, Nar?”
“Kira-kira kapan aku bisa ‘nengokin’ Bapak, ibu sama Poppy?” Tanyanya lagi.
Gua nggak langsung menjawab. Kembali beralih ke layar laptop dan mulai mencari informasi kira-kira kapan masyarakat umum bisa mengunjungi makam khusus dimana para pasien covid-19 disemayamkan.
Menurut artikel yang gua baca, sejatinya nggak ada larangan untuk berziarah ke makam khusus tersebut. Hanya saja, saat ini, di periode ini, masih banyak kegiatan pemakaman yang dilakukan. Masih banyak petugas yang wara-wiri menguburkan jenazah, membuat resiko penyebaran virus semakin besar.
“Nanti deh, kalau lo udah sembuh. Kalo gua udah sembuh…” Jawab gua.
“Tapi, aku kan udah sembuh kak” Responnya.
Iya, Dinar memang sepertinya sudah sehat wal afiat, hanya saja belum di validasi dengan melakukan tes SWAB atau PCR. Rencananya nanti gua bakal meminta tolong ke bokap untuk melakukan tes saat merasa kondisi gua juga sudah ‘bersih’ dari virus. Biar sekalian.
“Aku bosan…” Gumamnya pelan, lalu berdiri, naik ke atas. Disusul samar terdengar suara pintu kamarnya tertutup.
Gua menghela nafas, kemudian melanjutkan pekerjaan.
Tapi, bekerja pun jadi nggak fokus karena terus kepikiran Dinar yang merasa ‘bosan’. Iya, gua cukup mengerti dengan kondisinya saat ini, berada di kondisi dimana dia diisolasi, nggak bisa banyak melakukan kegiatan apapun, dan baru saja kehilangan seluruh anggota keluarganya.
Gua menghentikan pekerjaan. Lalu berdiri ke arah televisi berukuran besar yang berada di ruang kerja, mencabut kabel-kabelnya kemudian membawanya ke atas, ke lantai dua. Dinar terlihat cukup terkejut saat melihat gua menggotong televisi masuk ke dalam kamarnya.
“Hah? Buat apa kak?” Tanyanya seraya menatap gua.
Gua nggak memberi jawaban, hanya diam sambil meletakkan televisi di atas meja. Kemudian keluar, ke bawah untuk mengambil konsol game yang biasa dipakai oleh Ketu dan teman-teman lainnya bermain dikala senggang.
Dinar kembali pasang tampang terkejut saat melihat gua kembali masuk ke kamarnya sambil membawa konsol.
Masih tanpa bicara, gua mulai memasang kabel-kabel, menyambungkan perangkat konsol ke listrik dan televisi. Kemudian mengambil salah satu controller dan menyerahkan kepadanya.
“Bisa main game kan?” Tanya gua seraya duduk di tepi ranjang, di sebelahnya.
Dinar memberi respon dengan mengangguk pelan, penuh keraguan.
“... Bisa nggak?” Tanya gua lagi, kali ini seraya menoleh ke arahnya.
Ia terdiam sejenak, lalu balik menatap gua sambil menjawab; “Biasanya aku main Candy Crush kak”
“Disini kayaknya nggak ada game Candy Crush” ucap gua sambil mencari di list game.
“…”
“… CTR bisa?” Tanya gua, seraya menunjukkan icon game yang biasa Ketu dan teman-teman lain mainkan bersama.
CTR atau Crash Team Racing sendiri adalah remake dari game jadul yang muncul waktu jaman PlayStation 1. Konsep bermainnya cukup unik, dimana kita, sebagai pemain akan mengendalikan karakter dengan bentukan aneh (tapi lucu) dengan tujuan memenangkan balapan melawan karakter lain di berbagai sirkuit balap yang penuh warna dan unik. Sejatinya, ada banyak mode lain di dalam permainan ini, tapi yang paling simple dan mudah untuk dimainkan tentu saja mode balapan.
Dinar menatap ke arah icon pada layar televisi, kemudian bicara; “Belum pernah mainin, tapi coba aja kak. Nanti ajarin ya” pintanya.
“Iya” Jawab gua singkat, lalu memulai game.
Sebelum memulai, gua memberikan beberapa tutorial tentang tombol yang harus digunakan beserta fungsinya. Sementara Dinar memperhatikan dengan seksama sambil sesekali mengangguk.
Awalnya, gua selalu unggul dari Dinar salam segala aspek. Padahal kalau sedang bermain bersama Ketu dan yang lain, gua kerap kali di bully karena selalu kalah dan berada di urutan paling buncit.
Tapi, semakin lama kami bermain, skill Dinar semakin terasah. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk bikin gua kerepotan. Bahkan, setelah beberapa race berikutnya, ia berhasil unggul dan mempermalukannya.
“Hahaha, gampang banget” serunya sambil tertawa.
Nggak terima karena harus kalah dari seorang pemula, gua membetulkan posisi duduk, mencoba meningkatkan konsentrasi.
“Sekali lagi” Ucap gua.
Dan gua kembali kalah.
“Lagi” ucap gua.
Lagi-lagi gua kalah.
“Sekali lagi” pinta gua.
“Yakin kak?” Tanyanya dengan nada sedikit merendahkan. Yang tentu saja gua respon dengan anggukan kepala.
Hasilnya? Tentu saja bisa ketebak. Gua bisa dengan mudah dikalahkan olehnya.
Gua meletakkan controller di atas ranjang, berdiri dan bersiap untuk keluar dari kamarnya.
“Mau kemana?” Tanyanya.
“Kerja” Jawab gua singkat.
“Ih ayo sekali lagi, siapa tau menang” ucapnya.
Gua berhenti, menatap wajahnya yang pongah, meraih controller dan kembali duduk di tepi ranjang.
“Taruhan yuk kak, biar ada seru” Tantang Dinar, masih dengan ekspresi wajah yang sombong.
Nggak mau merasa diremehkan oleh pemula. Gua dengan cepat mengangguk; “Ayo”.
“… tarohannya apa?” Tanya gua.
“Mmm… apa ya..” Dinar bicara sambil menatap kosong ke depan, seperti tengah berpikir keras.
“…”
“…Oh, gini aja. Kalo aku menang, kak Marshall harus turutin satu permintaan aku. Kalo, kakak yang menang aku bakal turutin satu permintaan kakak. How?”
Merasa kali ini gua bakal menang. Gua lantas mengangguk dan menjulurkan tangan; mengajaknya bersalaman. Tanpa keraguan, Dinar meraih dan menjabat tangan gua.
Gua mengerahkan semua skill dan fokus gua untuk pertandingan ini. Yang dipertaruhkan nggak hanya sebuah permintaan tapi juga harga diri. Gua harus menang, apapun yang terjadi.
Nyatanya, tekad hanyalah tekad. Tekad jika nggak diiringi dengan kemampuan dan bakat tentu saja nggak bakal menghasilkan sesuatu yang instan. Gua pun hampir kalah. Merasa malu, sebelum race berakhir, gua menekan tombol ‘option’, dimana game langsung masuk ke mode ‘pause’, memilih opsi ‘Quit game’.
Disusul layar televisi yang langsung berubah, kembali ke menu awal.
“Ah curang!” Seru Dinar sambil menahan tawa.
“…”
“… ini berarti aku yang menang ya” tambahnya.
Sambil menahan malu, gua mengangguk pelan. Kemudian bicara; “Lo mau minta apa?”
“Mmm, sekarang belum ada. Boleh nggak permintaannya ditabung dulu?” Tanyanya.
“Yaudah” Jawab gua singkat, lalu keluar dari kamar. Dan kembali turun ke bawah untuk melanjutkan pekerjaan.
Beberapa jam berselang, saat gua sudah menyelesaikan semua pekerjaan. Dari lantai atas masih terdengar samar suara game dari televisi. Sepertinya, Dinar masih lanjut bermain game. Gua mematikan laptop, menyulut sebatang rokok lalu bergegas kembali ke atas.
Saat gua tiba di lantai dua, hampir semua ruangan terlihat gelap, hanya samar cahaya berkelip dari dalam kamar Dinar yang pintunya sedikit terbuka, menjadi satu-satunya sumber cahaya. Gua mendekat ke arah kamar, lalu mengintip ke dalam kamar melalui celah pintu. Terlihat Dinar tengah berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Sementara tangannya masih menggenggam controller.
Dengan hati-hati dan perlahan, gua berjingkat masuk ke dalam kamar. Mencoba melepaskan controller dari genggamannya, mematikan konsol dan juga televisi yang masih menyala. Sontak, kondisi kamar menjadi gelap gulita, karena satu-satunya sumber cahaya di sini, mati. Dengan berbekal cahaya layar ponsel, gua mendekat kembali ke arah Dinar yang masih berbaring, lalu menaikkan selimut agar menutupi tubuhnya.
Saat gua hendak pergi, terdengar suaranya menggumam.
“Ibu, Ibu, Dinar kangen Bu…” Ucapnya dengan mata masih terpejam. Rupanya ia mengigau. Kepalanya terlihat menggeleng-geleng, sementara keringat mulai membasahi seluruh dahinya.
Gua kembali mendekat, lalu duduk di tepi ranjang tepat di sebelahnya. Perlahan, gua menyentuh dahinya yang berkeringat dengan punggung tangan; nggak demam. ‘Mungkin hanya rindu sampai terbawa mimpi’ Batin gua dalam hati, kemudian menyeka keringat di dahinya dengan ujung kaos yang gua kenakan.
“Sabar ya, Nar” Gua berbisik di dekat telinganya lalu pergi.
—
Besoknya, begitu gua membuka mata terlihat Dinar sudah duduk persis di hadapan gua. Ia duduk di lantai, menatap gua yang tidur di sofa sambil tersenyum.
“Selamat Pagi…” Serunya.
Gua yang kaget karena posisi wajahnya begitu dekat sontak langsung mundur, bangkit dan duduk menjauh.
“Astaga, bikin kaget aja lo” Balas gua, kemudian kembali berbaring, menarik selimut sambil melanjutkan tidur dengan memunggunginya.
“Hari ini nggak berjemur Kak?” Tanyanya.
Gua merespon dengan mengangkat tangan ke atas; malas. Semalam gua tidur sedikit terlambat karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan susulan yang Ketu berikan. Jadi hari ini rencananya gua mau bangun agak siang biar nggak terlalu ngantuk nantinya. Tapi, apa daya, Dinar terus-terusan mengganggu gua, mengajak berjemur sebelum sinar matahari terlalu panas.
“Argh…” Gua menyibak selimut lalu kembali duduk.
Terlihat Dinar masih berada di posisi yang sama sambil menatap gua dengan ekspresi tanpa rasa bersalah.
“... Yaudah ayo…” Gua menambahkan. Kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah lantai dua.
“Yeay…” Seru Dinar sambil mengikuti gua.
“Emang lo nggak berani berjemur sendirian?” Tanya gua ke Dinar, sambil menaiki tangga besi menuju ke rooftop.
“Berani” Jawabnya singkat.
“Terus kenapa harus bangunin gua?”
“Ya kan sekarang aku udah sembuh. Yang belum sembuh kan Kak Marshall. Yang perlu berjemur itu kamu…” Jelasnya.
Pagi ini, matahari sudah lebih tinggi dari pada hari-hari sebelumnya. Membuat sinarnya sedikit lebih panas dan terasa membakar. Kami berdua duduk membelakangi matahari agar sinarnya nggak langsung menerpa wajah sambil berbincang; tentang kuliahnya dimana ia ragu masih mau melanjutkannya atau nggak dan tentang rasa rindunya kepada ibu, bapak dan kakaknya.
“Ya lanjutin lah, Nar. Sayang-sayang” Gua menjawab akan keluh kesahnya tentang progres kuliah.
“Tapi, aku kayaknya udah ketinggalan banyak. Lagian, mau bayar kuliah dari mana?” Balasnya, sambil memainkan batu kerikil kecil di tangannya.
“Emang lo sisa berapa semester?” Tanya gua.
“Empat” Jawabnya.
“Yaudah nanti gua yang bayarin”
“Nggak mau” Ia menjawab cepat seraya melempar kerikil di tangannya ke arah gua.
“...”
“... Selama ini kakak udah banyak bantu aku. Aku nggak mau lagi membebani Kakak dengan harus bayar uang kuliah aku” Tambahnya.
“Yaudah kalo gitu kerja aja sama gua, gantiin Poppy” Gua memberi usul.
“Tapi aku nggak bisa gambar, gimana?”
“Yang lo bisa apa?” Gua balik bertanya.
Ia lalu menggeleng pelan.
“Nggak tau. Dari dulu aku taunya cuma kuliah dan main, yang bayar kuliah ya bapak sama Poppy” Jawabnya sambil pasang tampang sedih.
“Yaudah, nanti kalo udah sembuh, belajar sama Mas Ketu ya. Lo nanti bantuin Mas Ketu ngurus duit kantor. Mau?”
Ia menatap gua lalu tersenyum; “Boleh kak?” Tanyanya, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“Tapi, gua nggak bisa bayar lo segede gua bayar Poppy. Gapapa kan?”
“Iya gapapa. Yang penting cukup buat bayar kuliah, beli makeup dan skincare, beli tas, beli smartphone sama laptop…” Jawabnya.
“Buset, ngelunjak” Ucap gua, kemudian memoles kepalanya dengan kepalan tangan.
Beberapa hari setelahnya, bokap datang ke studio. Ia terlihat masih mengenakan APD lengkap dengan masker dan kacamata. Tanpa banyak bicara, ia masuk, meletakkan box berisi perlengkapan miliknya dan mulai bicara; “Obatnya masih ada, Sal?”
“Masih…” Jawab gua singkat.
Bokap lalu beralih ke Dinar yang duduk di sofa di sebelah gua. “Dinar, Obatnya masih ada?” Tanya bokap.
“Punyaku baru kemarin abis, Om” Jawab Dinar.
“Oh, yaudah nanti kalau abis test masih positif, Om kasih tambahan suplemen sama vitamin ya” Ucap Bokap lalu memberikan kode agar Dinar bersiap untuk proses pengambilan sample test.
Karena ingin hasil yang lebih akurat, Bokap sengaja melalukan dua kali test kepada kami berdua, melalui sample liur dan darah. Setelahnya, ia menyimpan hasil sampling ke dalam box miliknya dan bersiap untuk kembali ke rumah sakit.
Sebelum pergi ia sempat memeriksa kondisi fisik kami berdua yang mana hasilnya menunjukkan kalau Dinar sudah fit dan sehat. Sementara, gua masih belum bisa 100% indera perasa.
“Ya nanti juga lama-lama balik lagi kok” Jawab Bokap, mencoba memberi penghiburan.
“Kalo nggak balik lagi?” Tanya gua.
“Yaudah enak malah, makan apa aja rasanya sama, jadi nggak ribet” Jawabnya santai.
Beberapa jam setelah bokap pergi, ia lalu memberi kabar melalui pesan singkat yang isinya kurang lebih memberi info kalau kami berdua sudah dinyatakan negatif.
Gua dengan cepat berlari ke atas, dan mengetuk kamar Dinar.
“Nar, Kita negatif…” Seru gua sambil menunjukkan isi pesan dari bokap.
Ia lalu meraih ponsel milik gua, membaca pesan dari bokap kemudian bersorak. Saking senangnya, ia lalu melompat dan memeluk gua. Karena berada dalam euforia yang sama, gua pun membalas pelukannya.
Detik berikutnya, barulah kami berdua sama-sama tersadar. Tapi, entah kenapa ia nggak berusaha keluar dari pelukan gua. Dinar malah mendongak dan menatap gua.
—
Dinar sudah kembali bugar walau kadang masih terdengar suara batuk-batuknya dari posisi gua di lantai bawah. Gua sendiri nggak ada gejala yang berarti hingga sampai mengganggu aktivitas, ya paling kehilangan indera perasa yang bikin gregetan. Makan jadi nggak enak, nggak ada rasanya apapun jenis makanannya. Merokok pun sama, nggak ada rasa apa-apa.
Sementara untuk urusan pekerjaan, kami masih bisa menghandle semuanya dengan bekerja secara remote dari tempat masing-masing. Gua dari studio, Ketu apartemennya, Adam dan Andika dari apartemen gua yang mereka tinggali.
“Kak, kira-kira kapan aku bisa ‘nengokin’ Bapak, ibu sama Poppy?” Tanya Dinar.
Saat itu, gua tengah bekerja, membuat ilustrasi. Sementara Dinar duduk di anak tangga, posisinya ada di tengah antara lantai satu dan lantai dua. Tempat yang acap kali ia gunakan untuk duduk dan merenung.
Gua meletakkan pensil digital, melepas headset yang menyumpal kedua telinga lalu berpaling ke arahnya; “Kenapa, Nar?”
“Kira-kira kapan aku bisa ‘nengokin’ Bapak, ibu sama Poppy?” Tanyanya lagi.
Gua nggak langsung menjawab. Kembali beralih ke layar laptop dan mulai mencari informasi kira-kira kapan masyarakat umum bisa mengunjungi makam khusus dimana para pasien covid-19 disemayamkan.
Menurut artikel yang gua baca, sejatinya nggak ada larangan untuk berziarah ke makam khusus tersebut. Hanya saja, saat ini, di periode ini, masih banyak kegiatan pemakaman yang dilakukan. Masih banyak petugas yang wara-wiri menguburkan jenazah, membuat resiko penyebaran virus semakin besar.
“Nanti deh, kalau lo udah sembuh. Kalo gua udah sembuh…” Jawab gua.
“Tapi, aku kan udah sembuh kak” Responnya.
Iya, Dinar memang sepertinya sudah sehat wal afiat, hanya saja belum di validasi dengan melakukan tes SWAB atau PCR. Rencananya nanti gua bakal meminta tolong ke bokap untuk melakukan tes saat merasa kondisi gua juga sudah ‘bersih’ dari virus. Biar sekalian.
“Aku bosan…” Gumamnya pelan, lalu berdiri, naik ke atas. Disusul samar terdengar suara pintu kamarnya tertutup.
Gua menghela nafas, kemudian melanjutkan pekerjaan.
Tapi, bekerja pun jadi nggak fokus karena terus kepikiran Dinar yang merasa ‘bosan’. Iya, gua cukup mengerti dengan kondisinya saat ini, berada di kondisi dimana dia diisolasi, nggak bisa banyak melakukan kegiatan apapun, dan baru saja kehilangan seluruh anggota keluarganya.
Gua menghentikan pekerjaan. Lalu berdiri ke arah televisi berukuran besar yang berada di ruang kerja, mencabut kabel-kabelnya kemudian membawanya ke atas, ke lantai dua. Dinar terlihat cukup terkejut saat melihat gua menggotong televisi masuk ke dalam kamarnya.
“Hah? Buat apa kak?” Tanyanya seraya menatap gua.
Gua nggak memberi jawaban, hanya diam sambil meletakkan televisi di atas meja. Kemudian keluar, ke bawah untuk mengambil konsol game yang biasa dipakai oleh Ketu dan teman-teman lainnya bermain dikala senggang.
Dinar kembali pasang tampang terkejut saat melihat gua kembali masuk ke kamarnya sambil membawa konsol.
Masih tanpa bicara, gua mulai memasang kabel-kabel, menyambungkan perangkat konsol ke listrik dan televisi. Kemudian mengambil salah satu controller dan menyerahkan kepadanya.
“Bisa main game kan?” Tanya gua seraya duduk di tepi ranjang, di sebelahnya.
Dinar memberi respon dengan mengangguk pelan, penuh keraguan.
“... Bisa nggak?” Tanya gua lagi, kali ini seraya menoleh ke arahnya.
Ia terdiam sejenak, lalu balik menatap gua sambil menjawab; “Biasanya aku main Candy Crush kak”
“Disini kayaknya nggak ada game Candy Crush” ucap gua sambil mencari di list game.
“…”
“… CTR bisa?” Tanya gua, seraya menunjukkan icon game yang biasa Ketu dan teman-teman lain mainkan bersama.
CTR atau Crash Team Racing sendiri adalah remake dari game jadul yang muncul waktu jaman PlayStation 1. Konsep bermainnya cukup unik, dimana kita, sebagai pemain akan mengendalikan karakter dengan bentukan aneh (tapi lucu) dengan tujuan memenangkan balapan melawan karakter lain di berbagai sirkuit balap yang penuh warna dan unik. Sejatinya, ada banyak mode lain di dalam permainan ini, tapi yang paling simple dan mudah untuk dimainkan tentu saja mode balapan.
Dinar menatap ke arah icon pada layar televisi, kemudian bicara; “Belum pernah mainin, tapi coba aja kak. Nanti ajarin ya” pintanya.
“Iya” Jawab gua singkat, lalu memulai game.
Sebelum memulai, gua memberikan beberapa tutorial tentang tombol yang harus digunakan beserta fungsinya. Sementara Dinar memperhatikan dengan seksama sambil sesekali mengangguk.
Awalnya, gua selalu unggul dari Dinar salam segala aspek. Padahal kalau sedang bermain bersama Ketu dan yang lain, gua kerap kali di bully karena selalu kalah dan berada di urutan paling buncit.
Tapi, semakin lama kami bermain, skill Dinar semakin terasah. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk bikin gua kerepotan. Bahkan, setelah beberapa race berikutnya, ia berhasil unggul dan mempermalukannya.
“Hahaha, gampang banget” serunya sambil tertawa.
Nggak terima karena harus kalah dari seorang pemula, gua membetulkan posisi duduk, mencoba meningkatkan konsentrasi.
“Sekali lagi” Ucap gua.
Dan gua kembali kalah.
“Lagi” ucap gua.
Lagi-lagi gua kalah.
“Sekali lagi” pinta gua.
“Yakin kak?” Tanyanya dengan nada sedikit merendahkan. Yang tentu saja gua respon dengan anggukan kepala.
Hasilnya? Tentu saja bisa ketebak. Gua bisa dengan mudah dikalahkan olehnya.
Gua meletakkan controller di atas ranjang, berdiri dan bersiap untuk keluar dari kamarnya.
“Mau kemana?” Tanyanya.
“Kerja” Jawab gua singkat.
“Ih ayo sekali lagi, siapa tau menang” ucapnya.
Gua berhenti, menatap wajahnya yang pongah, meraih controller dan kembali duduk di tepi ranjang.
“Taruhan yuk kak, biar ada seru” Tantang Dinar, masih dengan ekspresi wajah yang sombong.
Nggak mau merasa diremehkan oleh pemula. Gua dengan cepat mengangguk; “Ayo”.
“… tarohannya apa?” Tanya gua.
“Mmm… apa ya..” Dinar bicara sambil menatap kosong ke depan, seperti tengah berpikir keras.
“…”
“…Oh, gini aja. Kalo aku menang, kak Marshall harus turutin satu permintaan aku. Kalo, kakak yang menang aku bakal turutin satu permintaan kakak. How?”
Merasa kali ini gua bakal menang. Gua lantas mengangguk dan menjulurkan tangan; mengajaknya bersalaman. Tanpa keraguan, Dinar meraih dan menjabat tangan gua.
Gua mengerahkan semua skill dan fokus gua untuk pertandingan ini. Yang dipertaruhkan nggak hanya sebuah permintaan tapi juga harga diri. Gua harus menang, apapun yang terjadi.
Nyatanya, tekad hanyalah tekad. Tekad jika nggak diiringi dengan kemampuan dan bakat tentu saja nggak bakal menghasilkan sesuatu yang instan. Gua pun hampir kalah. Merasa malu, sebelum race berakhir, gua menekan tombol ‘option’, dimana game langsung masuk ke mode ‘pause’, memilih opsi ‘Quit game’.
Disusul layar televisi yang langsung berubah, kembali ke menu awal.
“Ah curang!” Seru Dinar sambil menahan tawa.
“…”
“… ini berarti aku yang menang ya” tambahnya.
Sambil menahan malu, gua mengangguk pelan. Kemudian bicara; “Lo mau minta apa?”
“Mmm, sekarang belum ada. Boleh nggak permintaannya ditabung dulu?” Tanyanya.
“Yaudah” Jawab gua singkat, lalu keluar dari kamar. Dan kembali turun ke bawah untuk melanjutkan pekerjaan.
Beberapa jam berselang, saat gua sudah menyelesaikan semua pekerjaan. Dari lantai atas masih terdengar samar suara game dari televisi. Sepertinya, Dinar masih lanjut bermain game. Gua mematikan laptop, menyulut sebatang rokok lalu bergegas kembali ke atas.
Saat gua tiba di lantai dua, hampir semua ruangan terlihat gelap, hanya samar cahaya berkelip dari dalam kamar Dinar yang pintunya sedikit terbuka, menjadi satu-satunya sumber cahaya. Gua mendekat ke arah kamar, lalu mengintip ke dalam kamar melalui celah pintu. Terlihat Dinar tengah berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Sementara tangannya masih menggenggam controller.
Dengan hati-hati dan perlahan, gua berjingkat masuk ke dalam kamar. Mencoba melepaskan controller dari genggamannya, mematikan konsol dan juga televisi yang masih menyala. Sontak, kondisi kamar menjadi gelap gulita, karena satu-satunya sumber cahaya di sini, mati. Dengan berbekal cahaya layar ponsel, gua mendekat kembali ke arah Dinar yang masih berbaring, lalu menaikkan selimut agar menutupi tubuhnya.
Saat gua hendak pergi, terdengar suaranya menggumam.
“Ibu, Ibu, Dinar kangen Bu…” Ucapnya dengan mata masih terpejam. Rupanya ia mengigau. Kepalanya terlihat menggeleng-geleng, sementara keringat mulai membasahi seluruh dahinya.
Gua kembali mendekat, lalu duduk di tepi ranjang tepat di sebelahnya. Perlahan, gua menyentuh dahinya yang berkeringat dengan punggung tangan; nggak demam. ‘Mungkin hanya rindu sampai terbawa mimpi’ Batin gua dalam hati, kemudian menyeka keringat di dahinya dengan ujung kaos yang gua kenakan.
“Sabar ya, Nar” Gua berbisik di dekat telinganya lalu pergi.
—
Besoknya, begitu gua membuka mata terlihat Dinar sudah duduk persis di hadapan gua. Ia duduk di lantai, menatap gua yang tidur di sofa sambil tersenyum.
“Selamat Pagi…” Serunya.
Gua yang kaget karena posisi wajahnya begitu dekat sontak langsung mundur, bangkit dan duduk menjauh.
“Astaga, bikin kaget aja lo” Balas gua, kemudian kembali berbaring, menarik selimut sambil melanjutkan tidur dengan memunggunginya.
“Hari ini nggak berjemur Kak?” Tanyanya.
Gua merespon dengan mengangkat tangan ke atas; malas. Semalam gua tidur sedikit terlambat karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan susulan yang Ketu berikan. Jadi hari ini rencananya gua mau bangun agak siang biar nggak terlalu ngantuk nantinya. Tapi, apa daya, Dinar terus-terusan mengganggu gua, mengajak berjemur sebelum sinar matahari terlalu panas.
“Argh…” Gua menyibak selimut lalu kembali duduk.
Terlihat Dinar masih berada di posisi yang sama sambil menatap gua dengan ekspresi tanpa rasa bersalah.
“... Yaudah ayo…” Gua menambahkan. Kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah lantai dua.
“Yeay…” Seru Dinar sambil mengikuti gua.
“Emang lo nggak berani berjemur sendirian?” Tanya gua ke Dinar, sambil menaiki tangga besi menuju ke rooftop.
“Berani” Jawabnya singkat.
“Terus kenapa harus bangunin gua?”
“Ya kan sekarang aku udah sembuh. Yang belum sembuh kan Kak Marshall. Yang perlu berjemur itu kamu…” Jelasnya.
Pagi ini, matahari sudah lebih tinggi dari pada hari-hari sebelumnya. Membuat sinarnya sedikit lebih panas dan terasa membakar. Kami berdua duduk membelakangi matahari agar sinarnya nggak langsung menerpa wajah sambil berbincang; tentang kuliahnya dimana ia ragu masih mau melanjutkannya atau nggak dan tentang rasa rindunya kepada ibu, bapak dan kakaknya.
“Ya lanjutin lah, Nar. Sayang-sayang” Gua menjawab akan keluh kesahnya tentang progres kuliah.
“Tapi, aku kayaknya udah ketinggalan banyak. Lagian, mau bayar kuliah dari mana?” Balasnya, sambil memainkan batu kerikil kecil di tangannya.
“Emang lo sisa berapa semester?” Tanya gua.
“Empat” Jawabnya.
“Yaudah nanti gua yang bayarin”
“Nggak mau” Ia menjawab cepat seraya melempar kerikil di tangannya ke arah gua.
“...”
“... Selama ini kakak udah banyak bantu aku. Aku nggak mau lagi membebani Kakak dengan harus bayar uang kuliah aku” Tambahnya.
“Yaudah kalo gitu kerja aja sama gua, gantiin Poppy” Gua memberi usul.
“Tapi aku nggak bisa gambar, gimana?”
“Yang lo bisa apa?” Gua balik bertanya.
Ia lalu menggeleng pelan.
“Nggak tau. Dari dulu aku taunya cuma kuliah dan main, yang bayar kuliah ya bapak sama Poppy” Jawabnya sambil pasang tampang sedih.
“Yaudah, nanti kalo udah sembuh, belajar sama Mas Ketu ya. Lo nanti bantuin Mas Ketu ngurus duit kantor. Mau?”
Ia menatap gua lalu tersenyum; “Boleh kak?” Tanyanya, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“Tapi, gua nggak bisa bayar lo segede gua bayar Poppy. Gapapa kan?”
“Iya gapapa. Yang penting cukup buat bayar kuliah, beli makeup dan skincare, beli tas, beli smartphone sama laptop…” Jawabnya.
“Buset, ngelunjak” Ucap gua, kemudian memoles kepalanya dengan kepalan tangan.
Beberapa hari setelahnya, bokap datang ke studio. Ia terlihat masih mengenakan APD lengkap dengan masker dan kacamata. Tanpa banyak bicara, ia masuk, meletakkan box berisi perlengkapan miliknya dan mulai bicara; “Obatnya masih ada, Sal?”
“Masih…” Jawab gua singkat.
Bokap lalu beralih ke Dinar yang duduk di sofa di sebelah gua. “Dinar, Obatnya masih ada?” Tanya bokap.
“Punyaku baru kemarin abis, Om” Jawab Dinar.
“Oh, yaudah nanti kalau abis test masih positif, Om kasih tambahan suplemen sama vitamin ya” Ucap Bokap lalu memberikan kode agar Dinar bersiap untuk proses pengambilan sample test.
Karena ingin hasil yang lebih akurat, Bokap sengaja melalukan dua kali test kepada kami berdua, melalui sample liur dan darah. Setelahnya, ia menyimpan hasil sampling ke dalam box miliknya dan bersiap untuk kembali ke rumah sakit.
Sebelum pergi ia sempat memeriksa kondisi fisik kami berdua yang mana hasilnya menunjukkan kalau Dinar sudah fit dan sehat. Sementara, gua masih belum bisa 100% indera perasa.
“Ya nanti juga lama-lama balik lagi kok” Jawab Bokap, mencoba memberi penghiburan.
“Kalo nggak balik lagi?” Tanya gua.
“Yaudah enak malah, makan apa aja rasanya sama, jadi nggak ribet” Jawabnya santai.
Beberapa jam setelah bokap pergi, ia lalu memberi kabar melalui pesan singkat yang isinya kurang lebih memberi info kalau kami berdua sudah dinyatakan negatif.
Gua dengan cepat berlari ke atas, dan mengetuk kamar Dinar.
“Nar, Kita negatif…” Seru gua sambil menunjukkan isi pesan dari bokap.
Ia lalu meraih ponsel milik gua, membaca pesan dari bokap kemudian bersorak. Saking senangnya, ia lalu melompat dan memeluk gua. Karena berada dalam euforia yang sama, gua pun membalas pelukannya.
Detik berikutnya, barulah kami berdua sama-sama tersadar. Tapi, entah kenapa ia nggak berusaha keluar dari pelukan gua. Dinar malah mendongak dan menatap gua.
—
Black Amplifier - The Sigit
They don't give you a right
They just giving you a fight
As you hold on to the bright light
Shall he send you the might to night
Black amplifier (amplifier amplifier amplifier)
They don't give you a right
They just giving you a fight
As you hold on to the bright light
Shall he send you the might to night
Black amplifier (amplifier amplifier amplifier)
Black amplifier amplifier
pavidean dan 45 lainnya memberi reputasi
46
Kutip
Balas
Tutup