ymulyanig3Avatar border
TS
ymulyanig3
Sebelas Tahun Pernikahan
Sebelas Tahun Pernikahan

Bab 1



sumber gambar


Hari itu aku tengah sibuk, berkutat membantu anak-anak yang akan tampil berpidato di acara maulid nabi.

Baju berwarna hijau tosca senada dengan hijabnya sudah kupersiapkan untuk kedua putri kecilku.

"Mah, aku mau didandan!" pinta Kia-anak keduaku.

Ia menatapku tajam sambil memonyongkan sebagian bibirnya. Ingin rasanya kucubit bibir mungil gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun itu.

"Iya," jawabku sambil mengangguk.

"Kakak juga mau didandan?" tanyaku kepada si sulung.

"Enggak, ah. Malu."

Luna-sulung dari tiga bersaudara itu mencebik kesal. Ia memang agak pemalu dibanding adiknya.

***

Waktu berjalan cepat, acara anak-anak akan dimulai selepas ashar. Kedua anakku tampil cantik dan anggun.

Aku mengabadikan gambar mereka beberapa kali di layar gawai. Suasana mesjid pun semakin ramai.

Semua mata tertuju kepada anak-anak yang tampil di atas panggung ketika perhatianku beralih ke layar gawai yang menyala.

Terlihat sebuah pesan gambar dari Mas Fadil-suamiku. Aku bergegas membuka layar benda pipih itu.

Nafas serasa terhenti untuk sesaat. Dada terasa sesak dan nyeri seperti di lempar sebongkah batu besar saat netra ini menatap pesan gambar yang dikirim belahan jiwaku.

Sebuah foto Mas Fadil dan seorang perempuan asing yang bertelanjang dada membuat sendi-sendi dan seluruh tulang lumpuh.

Aku terduduk di antara keramaian untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian bangkit dan bergegas pulang ke rumah.

[Mas, apa ini? Siapa perempuan itu]

Cecarku di balik gawai.

[Maaf, Mah. Dia Melati-pacarku]

[Asstagfirullahaladzim]

Aku beristigfar berkali-kali. Langit seolah runtuh, nyeri di dalam dada semakin terasa perih. Bagai tersayat sembilu.

[Cepat pulang!]

Aku cumiik nyaring dari balik gawai, tidak perduli terdengar oleh tetangga. Bulir bening tumpah tidak terbendung lagi.

[Iya, tapi izinkan aku kimpoi lagi. Aku ingin memperistri perempuan itu]

[Pulang!] pekikku semakin kencang.

Aku menangis sekencang-kencangnya bersama suara derasnya hujan yang turun. Langit seolah menangis bersamaku.

Suara petir dan kilat yang bersahutan turut mengiringi awal nestapa pernikahan yang telah berusia sebelas tahun.

Embusan angin kencang membawa bulir-bulir air hujan lewat pintu rumah yang terbuka lebar.

Aku menatap lantai yang basah kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Entah berapa lama air mata ini keluar. Aku hanya terduduk di atas lantai, di balik pintu kamar. Meratapi semua yang baru saja terjadi.

"Mah, dedek nangis."

Suara Si sulung terdengar dari balik pintu kamar diiringi suara tangisan Fariz-si bungsu yang beradu dengan suara hujan.

Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan membuka pintu.

Kuusap kedua pipi yang telah basah itu kasar.

Aku segera mengambil Fariz dari gendongan Luna dan pergi ke rumah Ibu tanpa bicara.

Anak sulungku terlihat bingung dan cemas. Ia hanya menatapku heran, tanpa berani bertanya. 'Ah, anak yang baru berumur sebelas tahun tidak akan mengerti apapun,' pikirku dalam hati.

Aku setengah berlari menuju rumah Ibu yang terletak di depan rumah dengan membawa Farhan yang sudah agak tenang di dalam gendongan.

"Pak, lihat ini!"

Aku menyodorkan gambar yang dikirim Mas Fadil di dalam gawai. Bapak menatapku lekat, kemudian memeriksa gambar itu.

Lelaki paruh baya itu menatapku iba.

"Tenang dulu, mungkin itu hanya teman," ucap Bapak bijak.

"Dia pacarnya, tadi aku telp, Mas Fadil minta izin kimpoi lagi," jawabku lirih.

Embun yang masih menganak sungai pun kembali tumpah di depan Ibu dan Bapak.

"Asstagfirullah .... "

Ibu beristgfar berkali-kali. Wajah wanita yang paling tulus itu pun tampak basah dengan air mata. Mendung bergelayut di atap rumah.

Badai yang akan datang tidak bisa terelakkan lagi. Siap menghempas dan memporak porandakan bahtera yang sudah dibangun.

***

Siang berganti malam. Cakrawala mulai gelap. Mas Fadil datang tepat ba'da Isya. Ia duduk di ujung sofa biru tua setelah memarkirkan roda empat warna putih kesayangannya .

Aku membisu di ujung sofa lainnya. Bergelut dengan hati yang masih bergemuruh. Mencoba menenangkan ombak yang mengamuk di dalamnya.

"Mah, izinkan Ayah menikahi Melati!"

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Ayah dari ketiga anakku, sesampainya di rumah.

Ia mendekat ke arahku, mencoba menggapai jemariku sebelum kuhempas kedua tangan kekar itu.

"Tidak, aku nggak mau di madu," jawabku tegas.

"Tapi Ayah sudah terlanjur jatuh cinta dan sudah melamarnya."

"Dia tahu kamu punya anak dan istri?" tanyaku geram.

"Tahu, dia itu perempuan baik. Dia mau jadi istri keduaku," jawab lelaki itu sambil tersenyum tipis.

"Perempuan baik tidak mungkin mau jadi duri dalam hubungan orang lain," jawabku sembari menatapnya tajam.

"Sudahlah, kamu izinin atau nggak?" tanyanya sambil membentak.

Mas Fadil menatapku nyalang. Lelaki itu tengah menunggu jawabanku. Sorot matanya tajam menghujam ke jantungku.

Namun, aku masih membisu dan bergelut dengan segala pikiran dan kemungkinan yang akan terjadi.

Terlintas wajah polos ketiga anakku. Bagaimana masa depannya jika kami berpisah?

Si sulung yang akan masuk ke sekolah menengah pertama tahun depan. Azkia yang masih manja dan si bungsu yang masih menyusu. Bagaimana nasib mereka?

Namun, satu hal yang pasti. Aku tidak akan pernah memberinya izin untuk menikah lagi. Apapun yang terjadi.

"Pilih aku atau dia," jawabku tegas.

"Aku mau kalian berdua."

"Tapi aku nggak mau ada yang kedua. Kalau  Mas pilih dia, ceraikan aku."

"Jangan paksa aku. Aku cuma minta tanda tanganmu di surat izin nikah lagi nanti."

"Aku takkan sudi tanda tangan."

Kami pun terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Bapak datang menengahi.

"Ada apa ini?" tanya Bapak sembari mengalihkan pandangan ke arah Mas Fadil.

"Ouh, ini pak. Saya mau minta izin ke Zahra untuk menikah lagi," jawab lelaki itu tak berperasaan.

Bapak diam untuk sesaat, tampak menarik nafas panjang. Aku bisa melihat luka dan embun yang bersarang di ujung manik hitam lelaki paruh baya itu.

Bapak pasti merasakan sakitnya seperti yang kurasakan. Ayah mana yang rela anak perempuannya disakiti dan dimadu?

"Bapak sebenarnya tidak mau ikut campur. Semua keputusan ada pada Azahra," jawab Bapak sambil menatapku iba.

"Zahra nggak mau, Pak. Zahra nggak mau dimadu. Hiks."

Tangisku pun pecah. Air mata yang kubendung sedari tadi mengalir tanpa henti.

"Zahra tidak bersedia dimadu. Walaupun ajaran agama kita membolehkan tapi harus ada keikhlasan dari istri tua."

"Iya, Pak. Tapi saya terlanjur berjanji untuk menikahi perempuan itu."

"Bapak ngerti, tapi keluarga lebih penting dari orang lain. Lihat anak-anak kamu."

"Dia perempuan baik kok, Pak."

"Sudahlah, Zahra. Ikuti kata hatimu, yakinlah Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik."

Bapak pergi dengan kesal setelah menepuk kedua bahuku. Lelaki itu terlihat murung dan kecewa.

Lelaki yang kunikahi sebelas tahun itu, kini telah asik memainkan gawainya sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Rasa cinta dan simpati perlahan terkikis. Tidak sadarkah dia telah menyakitiku dan keluargaku?

Setega dan sebuta itukah cinta? Sampai tidak bisa melihat luka yang di tebar karenanya.

Aku pergi ke kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Mas Fadil yang tengah dimabuk cinta.

Bersambung

sumber : Original TS
Diubah oleh ymulyanig3 15-01-2024 04:57
ardian76
Sexbomb
sormin180
sormin180 dan 11 lainnya memberi reputasi
10
1.6K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ymulyanig3Avatar border
TS
ymulyanig3
#6
Bab 3 Pengkhianatan
Aku gelisah sepanjang hari, menunggu kabar dari Mas Fadil. Apakah lelaki itu menepati janjinya?

Warna oranye sudah menghiasi cakrawala, pertanda senja telah datang. Netraku masih terpaku pada benda pipih hitam yang tidak kunjung menyala, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk menghubunginya terlebih dahulu.

Beberapa kali mencoba menghubunginya. Namun, lelaki itu tidak mengangkat panggilan dariku.

Hati semakin tidak karuan. Gelisah, cemas dan takut bercampur menjadi satu.

[Yah, kumohon jangan temui lagi perempuan itu!]

Sebuah pesan whattshap berhasil ku kirim. Sudah centang biru, tapi tidak ada balasan.

Kemana lagi harus kubagi gelisah ini? Bayangan kehancuran berputar-putar di dalam benak. Mendorong butiran bening dari pelupuk mata dan membasahi pipi.

***

Seminggu terasa sewindu bagiku. Mas Fadil semakin sulit dihubungi, membuatku tetap terjaga di malam hari.

Hari ini seharusnya dia pulang ke rumah. Aku sudah bersiap dari pagi buta. Memasak makanan kesukaannya. Membersihkan rumah dan bersolek secantik mungkin.

[Mah, Ayah kayaknya pulang malem banget. Banyak kerjaan]

Sebuah pesan whattshap yang membuatku kecewa. Untuk apa semua yang sudah kusiapkan ini?

"Mah, Ayah kok belum pulang?" tanya si sulung heran.

"Lagi sibuk, Kak," jawabku asal.

Perubahan sikapnya sudah terlihat beberapa bulan terakhir dan bodohnya, aku baru menyadarinya sekarang. Setelah semuanya sudah terlambat.

***

Malam semakin larut, sudah lewat tengah malam, yang ditunggu tidak kunjung datang. Makanan yang sudah dihangatkan beberapa jam yang lalu pun kembali dingin.

Tepat pukul dua dini hari, Mas Fadil sampai di rumah dengan raut muka lelah.

Ia duduk di ujung sofa sambil mengusap-usap layar gawai ditangannya. Tidak terlihat eksfresi kangen karena sudah seminggu tidak bersua.

"Yah, makan dulu?" tanyaku dengan nada lembut. Menyembunyikan riak di dalam hati.

"Nggak usah, udah makan tadi," jawabnya cuek.

"Makan sama perempuan itu?"

"Namanya Melati, jangan sebut sinis kek gitu," jawabnya sambil melirik dengan ujung matanya.

"Asstagfirullah, kamu ketemu dia lagi? Kalian ...."

Tidak sanggup rasanya untuk sekedar meneruskan kata yang berjejal di otak. Aku menyambar gawai yang dipegangnya dengan cepat.

Dan benarlah, sebuah chat mesra dan beberapa foto dirinya dengan memakai baju yang sama seperti yang sedang ia kenakan.

Entah untuk keberapa kalinya hati ini hancur berkeping. Perih dan sesak.

"Kamu jahat! Berengsek! Tidak tahu malu!" pekikku nyaring sambil memukut punggung ayah dari ketiga anakku.

"Kamu udah janji ... hiks," lirihku sambil terisak.

Air mata tumpah dan tak terbendung lagi. Mengalir tanpa henti untuk waktu yang lama.

Mas Fadil hanya diam dan membisu. Ia tidak lagi menghiraukan luka akibat sayatan-sayatannya. Tidak terlihat lagi cinta atau pun sayang untukku di manik cokelatnya.

"Mau kamu apa? Aku nggak bisa tinggalin dia!" hardiknya dengan tatapan tajam.

"Ceraikan aku!" pintaku tegas.

"Baiklah kalau itu mau kamu."

Jawaban Mas Fadil serasa menampar wajahku. Aku terbangun dari harapan yang hampa, mimpi yang kosong. Lelaki itu tidak pantas lagi untuk dipertahankan.

"Baik." ucapku dengan menatapnya nyalang.

Tidak pernah kusangka, pernikahan ini akan berakhir semudah ini. Pengorbanan, kesetiaan, anak-anak dan kenangan kami tidak lebih berharga dari seorang janda dua kali.

"Aku akan tulis surat talaknya besok pagi dihadapan Bapak," ucap lelaki yang sudah tidak kukenali itu sinis.

Mas Fadil masuk ke dalam kamar tamu dengan wajah kesal. Kini, kami seperti musuh yang berada di dalam satu atap. Yang menyimpan kebencian di dalam hati.

Aku pergi ke rumah orang tuaku yang tidak jauh dari rumahku dengan menggendong si kecil Fariz.

"Bu!Pak!" pekikku sambil menggedor pintu belakang rumah.

Selang beberapa menit, Ibu membukakan pintu. Aku menghambur ke pelukan Ibu sambil terisak.

"Ada apa, Ra? Ayo masuk!"

Kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Bapak menatapku penuh tanya, begitu pun Ibu yang duduk tepat di depanku.

"Mas Fadil menceraikan ku, hiks," lirih sambil terisak.

"Dia lebih memilih perempuan itu dibanding aku dan anak-anaknya," tambahku geram.

"

Kami pun terdiam, hening seketika. Hanya suara denting jam yang terdengar memecah kesunyian. Aku mengangkat wajah perlahan, menatap dua orang yang sangat kucinta itu satu per satu.

Terlihat jelas kesedihan dan kekecewaan di wajah mereka. Tubuh rentanya harus ikut menanggung kesedihan diriku. 'Maafin, Zahra, " lirihku di dalam hati.

"Tenangkan dirimu, minta petunjuk kepada Allah. Yang akan terjadi pasti terjadi, " ucap Bapak tenang.

Aku mengangguk perlahan, kemudian pergi mengambil air wudhu.

***

Kumandang Adzan subuh sudah terdengar dari toa surau. Seisi rumah telah bersiap menunaikan shalat subuh berjamaah di surau.

Aku memilih shalat di rumah sambil menjaga si kecil. Kemudian pulang untuk membangunkan kedua anakku di rumah kami.

Mas Fadil terlihat duduk di atas sofa, dengan secarik kertas di depannya. Perasaanku sudah tidak enak, takut bercampur cemas.

"Tanda tangan di sini! " pintanya sembari menunjuk kertas putih didepannya.

Secarik kertas berisi pernyataan talak itu kupegang dengan erat. Netraku memindai setiap kata yang tertulis di dalamnya.

"Teganya kamu, menceraikanku demi wanita lain. Bagaimana nasib anak-anak? " tanyaku dengan tatapan nyalang.

Air mata keluar tanpa henti, membasahi wajahku yang sudah membengkak akibat menangis semalaman.

"Kamu sendiri yang maksa aku ceraikan kamu, kamu g mau nerima pacarku sebagai madumu," ucap lelaki itu sinis.

"Jahat, kamu! "

"Sudah, cepetan tanda tangan."

Tanganku bergetar saat pena yang kupegang mulai menggoreskan tanda tangan. Tubuh ini lemas seketika, seperti ada yang hilang di dalam hidupku.

Separuh jiwaku hilang. Cinta pertama yang ku yakinkan menjadi cinta terakhirku, kini hanya akan menjadi kenangan.

Sebuah kenangan pahit yang menorehkan luka yang dalam. Membuatku merutuki takdir yang menyatukan kita.

"Aku pergi, " ucap Mas Fadil sambil menyeret sebuah koper besar.

Aku masih tergugu di atas lantai, memandang punggung belakangnya yang perlahan menghilang.

"Mah, kenapa? " tanya si sulung yang terlihat khawatir.

"Ayahmu, menceraikan mamah, " jawabku datar.

Gadis kecilku yang baru berusia sebelas tahun itu terlihat kaget. Manik hitamnya tampak menyembunyikan embun yang banyak.

Ia menatapku iba dengan berlinang air mata. Kemudian pergi ke dalam kamarnya. Aku tahu betul Si sulung sama terlukanya denganku. Anak mana yang sudi orang tuanya berpisah?

Akhirnya, aku kalah dan harus merelakan Mas Fadil dengan perempuan lain.

"Zahra! kamu harus kuat. lelaki bukan cuma Fadil. inget anak-anakmu, " ucap Ibu sambil memelukku.

Entah dari kapan beliau ada di dekatku. Melihat anaknya terpuruk dan terbuang. Lelakiku yang dahulu teramat kubanggakan. sikap santun dan bacaan Al-Qur'annya yang meluluhkan hati ini. Ternyata, tega menyakiti.

***

Tidak seperti biasanya, Mas Fadil tidak memberi kabar sama sekali. Seakan hilang ditelan bumi. Mungkin, akan lebih baik jika ia benar-benar hilang di telan bumi daripada harus mengetahui dia sedang bersama perempuan lain.

Aku memindai setiap sudut rumah, terasa kosong dan sepi. Tidak ada lagi gelak tawa dan senda gurau. Semua telah dirampas dan berganti duka.

Ketiga anakku terlihat murung dan tidak terurus. Uang jatah bulanan dari Mas Fadil pun semakin menipis. Apa yang akan mereka makan, esok?

Pertanyaan itu sedikit menggangguku akhir-akhir ini. Bodohnya aku yang hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan dan terlalu bergantung kepada suami.

"Mah, Dedek panas! mukanya pucat! " pekik Luna sambil menggendong Fariz dan menyerahkannya kepadaku.

"Astagfirullah, kenapa bisa begini? "

"Bawa ke Dokter, Mah, " ucap Luna yang terlihat cemas.

Duka yang menyelimutiku seakan tiada henti. Belum kering luka di hati, ditambah dengan sakitnya Si kecil.

Bersambung
kubelti3
rinandya
Sexbomb
Sexbomb dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup