Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Dimensi Demensia | Horror Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




"Aduh terlambat lagi," gerutuku cemas.

Segera ku putar setir mobil ke samping lapangan. Berharap anak ku baik-baik saja. Sekolah ini terdengar senyap, sepi tak ada siapapun.
Siang menjelang sore hujan mengguyur Jakarta, memaksaku mengangkat kaki untuk menghindar dari genangan air. Seandainya rapat direksi kantor dipercepat, mungkin aku bisa tepat waktu menjemput Adnan. Resah memikirkan satu-satunya buah hatiku.
Sungguh sulit menjadi orang tua tunggal. Setiap harinya aku harus mempersiapkan segala kebutuhannya, dari sekolah, les renang, hingga mengantar sekaligus menjemputnya ke sekolah. Terlebih, Adnan hanya punya diriku.

Istriku meninggal saat melahirkannya. Aku benar-benar bersedih atas kepergian Luna. Berlarut-larut demikian dalam. Satu-satunya harta peninggalan Luna adalah Adnan. Aku berjanji untuk menjaga anugerah dari pengorbanan istriku. Harus aku yang menjaganya, ya harus aku.

Gemuruh hujan kian menghentak langit. Angin yang menghembus di koridor kelas kian membuatku cemas. Dimana Adnan? Aku berlari dengan kaki yang licin, menuju kelasnya.
Aku ingat betul jika kelasnya berada di pinggir taman sekolah, tepat di ujung gedung. Aku menengok kiri kanan, memicingkan mataku di jendela. Tak ada siapapun, keadaan memang sudah sepi. Aku sangat yakin jika orang-orang sudah pulang.

"Na...na...na..."

"Adnan?" Suara itu terdengar dari lantai dua. Dengan sigap aku menuju tangga gedung.

Sekolah ini mempunyai tiga gedung. Gedung pertama untuk anak-anak kelas I, II dan III yang mengisi lantai paling bawah. Lantai dua ada ruang untuk kegiatan sekolah dan juga perpustakaan. Jajaran guru, staf sekolah dan anak-anak kelas berikutnya menempati gedung yang lain. Aku sangat yakin jika anak ku masih di gedung ini menunggu hujan reda.

"Ad...nan?" Aku sempat ragu dengan langkah yang terhenti. Ia menengok, beruntung ternyata itu memang Adnan. Aku menghampirinya segera yang tengah berjongkok memegang krayon. Memeluknya di tengah badai.

"Nak, maaf Ayah lagi-lagi terlambat," walau ia tak bergeming, Adnan masih mau menatapku dengan hangat. Seolah segalanya masih baik.

"Tak apa Ayah, dari tadi ada yang temenin kok,"

"Benar, daritadi dia bermain bersama anak ku," tetiba sosok pria paruh baya menghampiri kami.

Aku menoleh padanya "Euh? Oh terimakasih banyak pak," ucapku kembali berdiri.

"Perkenalkan nama saya Pak Mulyo, Bapak pasti orang tua Adnan?" Ucapnya sambil memberi salam.

"Iya pak, saya Ardi. Bapak jemput anak juga?" Tanyaku menyambar tangannya dengan senyuman.

"Benar, anak saya sedang di toilet. Kebelet pipis katanya. Tenang saja, Adnan daritadi sibuk menggambar bareng Fadhil. Mereka satu kelas, saya sering melihat mereka bermain bersama,"

Hatiku senang mendengar penjelasan Pak Mulyo. Kami mengobrol banyak hal. Lega, ternyata selama Adnan bersekolah selalu ada Pak Mulyo yang memperhatikannya. Setidaknya ada yang menjaga anakku. Perangainya penuh wibawa. Dari obrolan tadi-pun aku tahu jika Pak Mulyo adalah karyawan di kantor pos, tak jauh dari sekolah ini.

Setiap harinya ia selalu menjemput anaknya di sekolah. Sungguh, aku benar-benar iri dengan waktu yang ia punya. Hari-hariku penuh dengan kesibukan, sampai-sampai aku tak tahu tentang lingkungan sekolah Adnan. Dari teman-temannya, para guru, atau orang tua murid yang lain.

"Nak ga boleh nakal ya. Dengerin Pak Mulyo, harus baik sama Fadhil juga,"

"Ah, namanya juga anak-anak, wajar toh kalo nakal sekali-kali. Biarkan mereka bermain seperti seharusnya, bener kan nak Adnan?" Ucapnya sambil mengusap lembut kepala Adnan. Ia hanya mengangguk. Aku tersenyum melihat kehangatan mereka.

"Eh Pak hujan masih deras, gimana jika kita pulang bersama? Mobil ku terparkir di bawah,"

"Terimakasih, kami menunggu hujan reda saja. Apalagi rumah kami dekat kok. Silahkan jika ingin pulang duluan,"

Akhirnya, kami menuruni tangga. Kami masih berbincang tentang kehidupan masing-masing.

Di pelataran sekolah, hujan mulai menipis. Aku berpamitan dengan Pak Mulyo, banyak berterima kasih padanya. Lalu memangku Adnan menuju mobil. Pak Mulyo kembali ke atas.

Aku menutup pintu. Mengelap tetesan hujan di seragam sekolah anakku lalu mencium keningnya. Mungkin esok aku harus membawa payung.

"Fadhil..."

"Ah iya, Ayah belum lihat Fadhil, apa dia masih di toilet?" kulihat gedung tadi masih seperti sebelumnya, aku pun tak melihat Pak Mulyo. Aneh sekali.

Kaca mobil dipenuhi embun dan sisa-sisa bintik air hujan. Sulit melihat dengan jelas.
Perhatianku teralihkan saat gawai di atas setir bergetar.

"Drrt...Drrt...!" Ternyata itu panggilan dari atasanku, lalu mengangkatnya.

"Halo Pak Will? Iya...iya...Pak, maaf akan saya usahakan sekarang," kututup gawai lalu memutar mobil sambil melihat ke belakang. Aku harus sampai di rumah untuk mengirim berkas. "Lelah sekali," ucapku pening.

Setidaknya Adnan sudah bersamaku.

Roda mobil menggilas genangan di gerbang sekolah, akhirnya kami bisa pulang. Aku lihat Adnan menggoyangkan kepalanya kiri kanan dengan senyum, sambil melihat ke samping kaca mobil. Menggemaskan.

"Gimanana tadi di sekolah? Hmm?" Aku membuka pembicaraan.

"Aku membaca komik, menyanyi lagu Indonesia Raya, banyak hal. Tadi siang aku makan sosis bareng Fadhil. Seru sekali Ayah, lalu..."

"Ya, lalu?"

"..."

"Kenapa?" Perhatianku terbagi karena melihat jalan raya.

"Ayah, besok jemput aku tepat waktu ya?" Pinta Adnan memelas. Ia tertunduk menggenggam erat krayon yang sejak tadi digenggam.

"Maafin Ayah ya? Besok Ayah bakalan dateng lebih awal, jangan sedih,"

Aku paham. Adnan memang merindukanku. Sejak ia masuk sekolah, aku selalu menitipkannya pada supir. Namun mereka silih berganti mengundurkan diri. Belum ada yang melamar di posisi itu lagi. Di rumah pun hanya ada dua ART, satu mengurus rumah dan satu memasak.

Untuk sementara, memang hanya aku yang mampu menjemput Adnan setiap harinya.

"Ayah janji?"

"Iya Ayah janji," seraya mengusap kepalanya.
Kami kembali tertawa bersama di mobil, ia melanjutkan ceritanya. Senang melihatnya riang. Ahh Luna, anak kita sudah besar.


***


Aku menutup pintu mobil. Berbeda dari hari kemarin, siang ini masih terlihat mendung. Kulihat jam tangan, ternyata aku terlambat satu jam setengah. Bebal, aku terlambat.

"Duh, Adnan pasti akan marah," Aku menengok ke sekitar, sekolah memang sudah sepi. Terlebih ini akhir pekan. Aku hanya melihat para pedagang membereskan barangnya. Di lain sudut, petugas kebersihan menyapu lantai gedung. Tak ada satupun siswa yang terlihat. Cemas, aku berlari mencari Adnan.

Di tengah lapangan, aku berpapasan dengan satpam. Ia berinisiatif menyapaku.

"Selamat siang Pak, ada yang bisa saya bantu?" Ucapnya ramah.

"Iya Pak, apa anak-anak kelas satu sudah pulang?"

"Oh sudah pak sejak tadi, maaf Bapak mencari siapa?"

"Anak saya, namanya Adnan. Perawakannya mungil dengan rambut lurus dibelah tengah, ia selalu bermain dengan sebayanya, Fadhil,"

"Oh Bapak orang tua Adnan, iya saya tahu. Di gedung yang ini memang saya yang menjaganya, pasti saya tahu nama-nama anak di kelas satu, tapi..." Ucapannya terhenti.

"Iya Pak?"

"...Yang saya tahu sih tak ada Pak yang namanya Fadhil. Gini aja, saya bantu cari ya Pak, mari ikut saya,"

Ia menuntun langkahku ke halaman belakang gedung, sambil menjelaskan keadaan murid di kelas Adnan. Seusai pulang sekolah, biasanya mereka selalu bermain sebentar di sana. Aku benar-benar asing, wajar saja Adnan baru bersekolah enam bulan disini. Terlebih, aku hanya mengantar dan menjemputnya satu bulan terakhir.

Kami menembus jalan yang memisahkan gedung kelas satu dan gedung para guru. Benar saja ada taman di sana.

"Nah itu dia Pak, Adnan lagi main sama gundukan pasir," ia menunjuk ke ujung taman. Aku berterimakasih padanya, ia berlalu untuk memastikan kendaraanku aman. Baik sekali satpam itu.

Kuberjalan perlahan, "Adnan..." Ucapku lembut.

"..." Ia hanya berdiam diri, menggali pasir dengan sendok plastik.

"Pak Ardi..."

Kuterkejut, Pak Mulyo muncul dari semak-semak. Ia menjinjing ember berisi air, entah untuk apa. Kehadirannya selalu datang tiba-tiba.

"Eh...Pak Mulyo?" Adnan terhentak, ia berlari ke arahku.

"Terlambat lagi Pak? Hehe," Langit jauh lebih terang dibanding hujan lebat kemarin, sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Perangainya sedikit berbeda

"Iya nih Pak, gimana kabarnya baik Pak?" Kami bersalaman.

"Loh mana ya Fadhil? Katanya ingin bikin danau, ia ikut menggali bersama Adnan,"

"Mmm...Adnan liat Fadhil ga?" Tanyaku padanya. Entah kenapa ia bersembunyi di balik betisku.

"Tadi...katanya ke perpustakaan dulu," ucap Adnan menunjuk ke gedung.

"Kok pergi ke sana, ada-ada aja," Pak Mulyo mengguyur pasir yang digali tadi, sampai meluap penuh.

Pak Mulyo menyingsing lengan jaketnya ke sikut, telaten sekali. Ia mengenakan jas yang sudah lusuh kecoklatan. Celananya pun model katun biasa berwarna hitam. Sepatunya kotor, sedikit berlumpur. Keringatnya menyatu dengan helai uban. Kusam, keriting penuh ikal.

Sesaat aku berpikir tentang apa yang diucapkan satpam tadi, apa benar tak ada yang namanya Fadhil di kelas satu?

"Nak, kamu bener Fadhil pergi ke perpustakaan?"

"Benar Ayah,"

"Ya sudah lanjut aja bikin danau lagi, nanti Fadhil bisa nyusul," ucap Pak Mulyo mengguyur pasir. Lubang yang digali Adnan sudah penuh, air berhamburan kemana-mana. Malah sudah seperti rawa-rawa. Becek sana sini.

"M...maaf Pak kami harus pulang, hari sudah sore keburu hujan,"

"Santai saja kan Pak Ardi bawa mobil, gimana sih?" Ucap Pak Mulyo ketus, ia menaikan nada bicaranya. Aneh.

"Tak apa, kami memang ingin segera pulang Pak," kuraih tangan anakku. Ingin segera membawanya pergi.

Pak Mulyo masih bermain dengan pasir. Ia menjaga air agar tak keluar dari lubang.

"Pak? Kami pamit ya?" Aku beranjak tak memperdulikannya.

"Baiklah, ati-hati. Tenang aja Pak, besok Adnan masih saya jaga," aku hanya membalasnya dengan senyum canggung. Kami berpisah.

Kupercepat langkah, menuju lapangan sekolah. Satpam tadi tak kelihatan batang hidungnya. Padahal banyak hal yang ingin kutanyakan.

"Ayah, ayo cepat pulang," ucap Adnan, mungkin sudah letih.

"Iya, ayo masuk ke dalam. Duduk ya, biar Ayah pasang sabuk biar aman,"

"Cklek..." Kuusap pipinya. Aku menuju jok setir, kemudian menancap gas ke luar sekolah.

Berbeda dari kemarin, Adnan terlihat murung. Ia memandang ke langit-langit, awan mendung kian menghitam.

"Ayah salah karena terlambat lagi," ucapku mengakui kesalahan.

"..."

"Nak?" Ia menoleh padaku.

"..."

"Hari ini baik-baik aja kan? Mmm...apa terjadi sesuatu dengan Fadhil tadi?"

"...Dia...dia memaksaku untuk mencekik kucing Ayah, aku...takut..." Ucapnya lesu tak percaya.

Sesaat aku terkejut. Pak Mulyo, Fadhil, Adnan hingga cerita Satpam benar-benar membuat nalarku pecah. Belum lagi ada dokumen yang harus aku selesaikan Senin nanti.

"Jangan main lagi dengan Fadhil, okey?" Aku takut sekali jika Fadhil adalah anak nakal yang berpura-pura baik. Di zaman sekarang, kita tak mampu menebak kepribadian seseorang. Terlebih ini anak kecil. Namun, tunggu dulu. Dalam benakku, ada sesuatu yang lebih penting.

"Bagaimana rupa anak Pak Mulyo? Siapa Fadhil?" Pertanyaan itu menghantuiku sejak kemarin.

Aku mengusap kepala Adnan, ingin memastikan jika dia baik-baik saja. Ia aman bersamaku.


***


"Halo? Benar...iya benar Pak...saya orang tua Adnan, apa ia ada di sana? Halo?"

Sialan, hujan membuat sinyal redup, putus-putus tak jelas. Aku menggerutu sambil mengusap wajah yang kuyup. Basah sekali.

Aku hanya duduk lesu di bantalan trotoar. Beberapa orang mengatur lalu lintas yang merayap padat. Sebagian berkerumun di sekitarku. Mungkin ingin memastikan jika diriku baik-baik saja. Namun, bukan itu yang sebenarnya aku hawatirkan.

Beringin tua di samping jalan raya runtuh menimpa mobilku. Padahal aku berusaha untuk datang tepat waktu menuju sekolah Adnan. Kepala bocor-pun tak masalah jika itu mampu mendengar kabar anakku baik-baik saja.

Pohon yang tumbang dan menimpa mobil sering terjadi saat angin kencang, hujan lebat, atau kondisi pohon yang sudah rapuh.
 Setelah menelpon pihak asuransi dan jasa derek mobil, kulihat taxi yang tak membawa penumpang. Tanganku mengacung telunjuk lalu menyambar pintu di belakang kemudi.

Supir taxi dengan sigap menancap gas setelah tahu tujuanku. Meninggalkan orang yang lalu lalang keheranan. Maaf, ada anakku yang jauh lebih penting sekarang.

"Drrt...!" Gawai bergetar, ini dari sekolah Adnan.

"Halo? Ayah, aku takut...c....epa...t...Tut...Tut...Ay...ah?"

"Pak...Ar...di? Tenang aja Pak...Adnan baik-baik saja hehe..."

"Nak? Pak Mulyo?"

"..."

"Tuttt..." Panggilan terputus.


***


"Terimakasih Pak," Taxi berlalu, meninggalkanku tepat di gerbang sekolah. Hari sudah petang, gulita dengan hujan yang masih deras.

Pagar sekolah sudah tertutup rapat. Aku mengangkat kepala tinggi ke arah pos satpam di samping. Berharap ada seseorang yang membuka pintu gerbang. Memang sudah gelap, hanya bagian koridor kelas yang benderang. Itu-pun hanya remang-remang.
Aku berinisiatif melompati pagar, walau sepatuku tak nyaman memanjat sempitnya pagar penghalang. Licin, aku terpeleset ambruk di genangan air. Sial, hujan menghujam wajahku dengan keras. Buyar.

Tubuhku segera bangkit, tindakan bodoh memang. Rasa hawatir pada orang terkasih membuat semua pria di dunia ini mau menerjang apapun. Demi Adnan, demi janjiku pada Luna.

Sesaat aku melihat seseorang tergeletak di pos gerbang. Mataku tertuntun untuk menghampirinya. Aku terkejut, itu satpam sekolah dengan kepalanya yang berdarah. Tepat di sampingnya ada telepon yang terbelah rusak. Tanganku berusaha menekan leher bapak itu, hanya untuk memastikan jika dia masih hidup. Benar, ia hanya pingsan. Kembali aku berdiri, perasaanku tak karuan. Cemas, panik, hawatir.

"Na...na...na..." Itu Adnan?

Kaki menancap tenaga secepat mungkin, berlari ke gedung kelasnya. Suara itu terdengar di lantai atas. Secepat kilat aku menaiki tangga. Tak ada! Lalu ada dimana? Apa di lantai paling atas? Suaranya masih terdengar. Kembali aku menaiki tangga. Belum pernah aku sampai di puncaknya.

Sesampainya di atas, keadaan benar-benar gelap gulita. Tak ada apapun. Di muka tangga aku bisa melihat bata-bata yang masih tersusun, semen dan beberapa bilah bambu yang ditutup plastik. Mungkin ini lantai yang segera dibangun ruangan lain. Kubuka tombol senter dari gawai, berjalan perlahan.

"Na...na...na..."

Samar-samar aku melihat Adnan, menyusun bata-bata di tengah hujan lebat. Janggal. Ada apa ini? Segera kuhampiri anakku. Fokus menyorot cahaya senter padanya. Ia masih membelakangiku.

"Adnan?"

"..."

"Nak?"

"AYAH TERLAMBAT!" Ia menoleh ke arahku. Lehernya berputar cepat, diriku terkejut hingga ambruk ke belakang.

"Ma...maafkan Ayah," aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Sosok Adnan berbeda, pucat pasi dengan urat kemerahan.

"Fadhil?" Pak Mulyo tetiba muncul.

Aku masih jatuh di lantai. Menyaksikan kejanggalan ini.

"Ayah tolong aku," wajah Adnan kembali berubah.

"Nak?" Sini, ayo cepat pulang.

"Jdak...!" Kepalaku ditendang keras.

"Dia anakku b*ngsat!"

Aku tergeletak dengan penglihatan samar, sakit sampai hidungku berdarah.

"Ayah tolong!" Anakku berteriak saat Pak Mulyo memangku Adnan.

"Fadhil ayo pulang,"

"TIDAK! AYAH SELALU TERLAMBAT, JIKA DULU TAK TERLAMBAT AKU MASIH HIDUP, AKU MASIH ADA!"

Fadhil? Ternyata Fadhil adalah arwah! Ia merasuk ke tubuh Adnan!

Fadhil mencakar wajar Pak Mulyo hingga pangkuannya lepas.

"AKU BENCI ORANG TUA YANG TERLAMBAT!" Tubuh Adnan berputar-putar ke kiri dan kanan, menari menari dengan wajah pucat keputihan, matanya gelap. Mengamuk, ia mencekik lehernya sendiri.

"...Adnan..." Aku bergumam dengan kepala yang masih berat. Itu tubuh anakku!

Pak Mulyo menangis. Meraung keras.

"Fadhil! Maafkan Ayah!" Teriakannya disusul kilatan dari langit.

Aku bangkit, berusaha meraih tubuh Adnan. Tendangan Pak Mulyo masih berbekas. Langkahku masih goyah.

"Ctarrr...!" Petir menyambar tubuh Adnan. Hingga tubuhnya terpental ke pinggiran gedung!

Adnan!

Waktu berjalan lambat, sosok Fadhil keluar dari tubuh Adnan. Tubuhnya kembali normal, perlahan mata hitamnya kembali bersinar. Aku berlari ke arahnya, disusul Pak Mulyo. Berusaha meraih anak kami masing-masing.
Anak kami melayang di udara.

"Ayah tolong..."

Di ketinggian ini, tangan Adnan berhasil kugenggam. Namun sosok Fadhil melayang ke udara, Pak Mulyo seperti menangkap angin.

Lambat, waktu berjalan lambat.

Lalu, berputar cepat.

Kami semua jatuh dari lantai tiga.

"Bruk...!"

Aku menatap langit. Samar dengan petir-petir yang masih bergelegar.

Gelap.


***

Satu tahun kemudian.

"Namanya siapa?"

"Panji Om,"

"Wah namanya bagus," Aku mengusap kepala anak itu. Seperti kebiasaanku mengusap Adnan. Wajahnya benar-benar mirip dengannya.

"Mau main ga sama anak Om? Namanya Adnan,"

"Panji? Panji?" Muncul sesosok Ayah muda dari lantai bawah, dia mencari anaknya.

"Eh Pak, maaf saya Ardi, anakku bersekolah di sini juga,"

"Oh bapak orang tua murid sini juga?"

"Iya, anakku sedang di toilet,"

Kami bersalaman dengan senyum, aku berharap anak-anak kami bisa akrab. Walau aku tak tahu, apakah Adnan masih hidup atau tidak.


THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 29-07-2023 16:31
lahidirmesa373
krian8471070
eynymawar675644
eynymawar675644 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.2K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan